Penulis macam apa?
“Bug…!”
Terdengar
bunyi tumpukan kertas yang dilemparkan perlahan ke atas meja.
“tulisan
macam apa ini?”
Suara
seorang lelaki setengah tua dengan perut bucit mengenakan jas berwarna abu-abu
muda. Bersandar dikursi putar sambil
menatapku dengan remeh. Kacamata yang menempel dibagian atas kepalanya itu
lebih mirip bando dari pada kacamata. Ya, kerena memang dia mengenakan benda
itu tidak pada tempatnya. Tapi itulah yang menjadi ciri khas dan pembeda dia
sebagai penulis senior sekaligus produser percetakan.
“Glek”,
Aku yang terkesima dengan itu, spontan menelan ludah dengan perlahan seperti
sedang kehausan di tengah gurun pasir yang terik. Seolah dihadapan ku ada badai
pasir yang siap meluluh-lantakan diriku.
Perlahan
namun tegas aku menjawab, “Ini karya saya pak.”
“karya
macam apa ini?” dia langsung menyambar.
“sejak
kapan kamu mulai menulis dan sudah berapa banyak naskah yang kamu buat?”
“Saya
menulis sejak saya lulus kuliah tahun lalu pak. Ini naskah pertama saya.”
“kamu
sadar apa tema tulisan kamu ini?”
“iya
pak, tema yang saya ambil adalah motivasi pak.
Hanya saya kemas dalam bentuk novel pak.”
Hanya saya kemas dalam bentuk novel pak.”
“Heuh
motivasi? motivasi apa?” pak produser menjawab dengan cemoohan.
Mungkin
karena memang naskah yang aku tawarkan ini tidak berbobot. Atau mungkin naskah
ku terlalu berbobot untuk sekelas penulis amatir seperti aku. Nampaknya
kepercayaan diriku mulai diuji saat ini. Ya, ujian yang sangat keras. Kaki ku
mulai bergetar. Untung tertutup meja yang menjadi penengah diantara kami
berdua. Hawa pendingin ruangan yang berada di sudut ruangan ternyata tidak bisa
menurunkan tensi grogi ku. Sehingga keringat ku mulai terlihat gemerlap
dikening terkena sorotan cahaya dari jendela. Ya ampun, ternyata ini lebih
sulit dari sidang tugas akhirku bebarapa tahun lalu.
Ini
mungkin kesalahanku juga karena naskah ku ini belum pernah aku publikasikan
kepada siapapun. Terlalu percaya diri aku langsung membawanya kepada penerbit.
Padahal seharusnya naskah ku ini, aku publikasikan dulu kepada teman-teman,
untuk mendapat kritik dan saran dari mereka. Tapi semua sudah terlanjur,
sekarang aku sudah berhadapan dengan sang penerbit. Jadi bagaimana caranya,
karya yang biasa ini menjadi karya yang “seolah luar biasa” dimata pak produser.
“iya
pak motivasi”. Aku menjawab satu kalimat pendek itu tapi rasanya panjang
sekali.
“Kamu
sudah sukses? Sampai kamu menulis buku tentang motivasi?” Pak produser kembali
bertanya dengan nada cemoohan.
“belum
pak.”
“Lantas
dengan alasan apa kamu buat tulisan motivasi ini sementara kamu sendiri saja
belum sukses? Apa kata pembaca kalau motivatornya saja belum sukses, sudah mencoba
membuat orang lain sukses. Orang akan malas membaca karya kamu ini. Orang akan
bilang sukseskan saja dulu diri anda, baru anda buat buku motivasi ini.
Coba
kamu pikir, apa yang akan pembaca contoh dari kamu setelah membaca buku ini
jika kamu saja belum sukses. Kalau pun ada yang baca buku kamu ini, mereka akan
menganggap kamu sebagai orang yang hanya bisa bicara. Teori saja, sementara
prakteknya tidak ada.”
“apakah
saya harus jadi orang sukses dulu ya pak baru saya bisa mengeluarkan buku?”
“Ya,
jelas! Produser menjawab tegas sambil mencondongkan posisi badannya dari tempat
duduk kehadapanku.
“kalau
kamu sudah sukses terus menulis buku ini, orang akan berbondong-bondong membaca
buku kamu ini. Mereka akan mempercai setiap teori yang kamu kemukakan dalam buku
kamu. Mereka akan terinspirasi dari kamu. Tapi kalau kamu saja belum sukses?
Apa yang mau dicontoh?” tambah pak produser.
“Kalau
saya sudah sukses saya tidak akan menulis buku ini pak”.
“maksud
kamu apa?” pak produser garang namun penasaran dengan statement yang aku
ungkapkan itu.
“iya
pak, kalau saya sudah sukses saya tidak akan menulis novel motivasi ini. Apakah
saya harus sukses dulu untuk menjadi seorang penulis buku? Saya ambil contoh
misalnya saya sudah sukses menjadi pengusaha makanan. Restoran saya sudah
memiliki cabang yang banyak dan ada dimana-mana. Saya sudah dikenal dengan
makanan restoran saya itu. Lalu saya menulis sebuah buku. Lha, terus apa
uniknya tulisan saya itu? Bukankah itu sudah pasaran pak? Sudah banyak
pengusaha yang melakukan hal itu. Menerbitkan buku-buku kisah suksesnya untuk
menginspirasi para pembaca.
Semua
orang berpikir kalau kita itu harus sukses dulu, baru orang percaya kepada
kita. Barulah kita menerbitkan sebuah buku yang akan booming di pasaran. Tapi saya
juga mengerti bahwa penerbit membutuhkan karya seperti itu. Dalam tanda kutip yang
laku dipasaran.
Memang
tidak bisa dipungkiri juga pak, bahwa kesuksesan akan membuat orang lain
tertuju kepada kita. Tapi semua itu menjadi salah kaprah. Paradigma lama. Itu
akan menjadi sebuah struktur yang terus berlanjut seperti itu jika tidak ada
yang merubahnya. Orang sukses itu bagaikan matahari yang terus dikelilingi oleh
planet planet lain. Sementara si planet-planet itu misalnya bumi tidak
menyadari potensinya, bahwa dia juga punya potensi untuk dikelilingi dan bukan
hanya mengelilingi.
Saya
ingin menulis dulu, baru saya sukses. Bukan seperti orang lain yang sukses dulu
baru dia nulis. Kalau saya menunggu sukses dulu baru saya menulis, entah kapan
saya akan mulai menulis. Karena saya tidak tahu kapan saya akan sukses.
Yang saya tahu adalah bahwa saya akan terus mencoba menulis dan saya akan
sukses. Inilah jalan sukses saya pak, dan bapak akan menjadi saksi perjalanan menuju
kesuksesan saya.
Saya
menganggap bahwa saya adalah orang yang sudah sukses melawan rasa malas dan
rasa ketidakpercayaan diri untuk menulis karya hitam di atas putih.”
Pak
produser terdiam dan menghela nafas panjang. Seolah pak produser tidak tahu
harus berkata apa. Dalam hati ku bertanya-tanya, apakah pak produser marah
kepada ku? Ataukah dia sudah mulai melihat keunikan yang ada pada ku.
“kamu
benar dik, kita tidak perlu menjadi sesuatu dulu untuk memulai sesuatu. Kita
tidak perlu menjadi besar dulu untuk mejadi besar. Kita tidak perlu menjadi
cerdas dulu untuk menjadi cerdas.
Karena
sesuatu itu dimulai dari tanpa sesuatu. Begitulah teori klasik yang sudah
diaminkan oleh semua orang yang menyadarinya.
Sesuatu
yang besar besar itu bermula dari kecil terlebih dahulu. Tidak langsung besar.
Profesional
juga dulunya adalah seorang amatir.
Seorang
guru, dulunya dia juga seorang murid. Itu toeri lama yang sering dilupakan oleh
orang-orang. Hal ini sering dijadikan alasan penghambat kesuksesan oleh
orang-orang yang tidak memiliki mental baja. Mereka akan berkata, aku bukan
siapa-siapa mana mungkin aku bisa sukses seperti dia. Kalah sebelum perang.
Saya
juga dulu seperti kamu dik, sebelum saya duduk disini, saya juga pernah
mengalami duduk disitu seperti kamu. Orang itu hanya akan memandang kesuskesan
kita, sementara mereka tidak tahu perjuangan kita itu seperti apa.
Tapi
secara langsung saya melihat perjuangan menuju kesuksesan kamu dik, untuk
mejadi seorang penulis. saya sempat meremehkan karya kamu ini tadi. Tapi,
anggap lah tadi adalah kerikil-kerikil yang menghambat jalan kesuksesan kamu.
Kalau saya tadi tidak meremehkan novel kamu ini, mungkin kamu tidak akan pernah
menjelaskan sesuatu tadi. Penjelasan yang menggugah hati saya untuk bisa
menghargai karya orang lain. Saya jadi ingat pesan orang tua saya dulu bahwa, jangan
kamu hina anak kecil yang tidak bisa apa-apa, karena sesungguhnya dia akan
menjadi besar dan bisa segalanya. Sebaliknya janganlah kamu bangga sudah
menjadi dewasa dan bisa segalanya, karena justru kamu harus bersiap untuk menjadi
tua dan digantikan.”
Aku menganguk setuju dengan apa yang
pak produser katakan. Sungguh menjadi pelajaran pula untukku. Luar biasa
pengalaman ini. Hmm, saat ini aku sudah ikhlas jika memang naskahku belum bisa
diterbitkan. Karena mungkin belum layak. Aku percaya terhadapap kredibilitas
dari pak produser yang memang bertugas langsung untuk menyeleksi setiap naskah
yang masuk dan akan diterbitkan.
“Baiklah dik, naskah ini akan kami
tampung dan diseleksi ke tahap berikutnya. Dan jika tim redaksi setuju, nanti
saya akan hubungi kamu lagi. Dan kita bicarakan mengenai royaltinya ya.”
“Iya
pak, terima kasih banyak. Untuk saat ini saya tidak memikirkan royalty pak.
Melihat naskah saya diterbitkan saja saya sudah sangat bahagia.”
“jangan
begitu dik, royalty itu sangat penting untuk didiskusikan. Masalah hak paten
dan royalty itu akan menjadi masalah besar jika tidak disepakati dari awal
naskah diterbitkan. Justru saya menyarankan trik kepada adik untuk mematok
harga novel ini dengan harga yang tinggi.”
“lho,
kok gitu pak?”
“iya,
dik. Saat ini orang-orang menganggap sesuatu yang harganya mahal atau di atas
rata-rata itu pasti bagus. Mereka sudah tersugesti dengan itu. Makanya kita
bandrol dengan harga tinggi agar kesannya novel kamu ini bagus. Jadi saat orang
melihat novel kamu ini di rak buku dengan bandrol yang tinggi, maka alam bawah
sadar mereka akan menganggap bahwa novel kamu ini berkualitas, makanya harganya
mahal.”
“tapi
itu curang pak?”
“tidak
dik, itu bukan kecurangan selama kita bandrolnya tidak berlebihan. Justru ini
adalah trik pemasaran yang sangat bagus, memanfaatkan alam bawah sadar para
pembeli.”
“waduh
penjualan seperti hipnotis saja pak pakai alam bawah sadar?”
“betul
dik, hipnotis para pelanggan pada pandangan pertama. Memang kata hipnotis bagi
orang Indonesia itu masih terkesan mistis dan sarat dengan kejahatan. Tapi
sesungguhnya hipnotis itu adalah hal biasa yang terjadi dikehidupan kita
sehari-hari. Dan akan sangat bonafit jika diaplikasikan dalam penjualan.”
“Hmm,
saya belum mengerti pak untuk hal itu.”
“begini
contohnya, kamu meminta adikmu untuk mengambilkan buku di kamar. Kemudian adik
kamu itu mau mengambilkan buku yang kamu minta itu. Nah sesungguhnya kamu sudah
menghiponotis adik kamu itu.”
“kalau
begitu semua orang bisa melakukan hipnotis ya pak?”
“betul
sekali dik, bahasa sederhananya adalah sesuatu yang membuat orang lain menuruti
apa yang kita mau itu sudah termasuk hipnotis dik. Jadi nanti kalau naskah kamu
belum bisa diterbitkan, maka itu kesempatan kamu untuk memperbaiki naskah kamu
ini. Perbaiki agar bisa menghipnotis para pembaca untuk memetik hikmah atau
pelajaran yang terkandung dalam karya kamu itu.”
“Siap
pak!”
“ok,
kalau begitu dik al. semoga kita bisa bertemu lagi di momen royalty ya. dan ini
kartu nama saya”. Pak produser berdiri sambil mengulurkan tangannya kepada saya
untuk berjabat tangan.
“Aamiin
Ya Allah. Terima kasih banyak pak.” Aku pun berdiri, mengambil kartu nama dan menerima
uluran tangan pak produser untuk berjabat.
Aku beranjak dari tempat duduk yang
empuk ini dan keluar dari ruangan pak produser. Dengan perasaan cemas apakah
naskahku akan diterbitkan atau ditunda. Tapi aku juga merasa senang karena aku
mendapat tambahan ilmu yang luar biasa dari pak produser. Pak produser yang
awalnya garang ditambah dengan fisik yang garang pula, ternyata beliau adalah
orang yang baik. Penuh dengan ilmu dan pengalaman yang harus aku petik.
-Al Muh-
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon